Selasa, 06 Desember 2016

PERON

PERON
Oleh: Siti Fatonah
Semburat pendar surya menerobos sela-sela rimbun dedaunan. Semilir angin menggoyangkan lentik daun. Mengalirkan hawa dingin ke segala penjuru. Menerbangkan plastik bungkus makanan ringan yang dibuang semaunya oleh sang empunya. Mendarat tepat di ujung sepatu seorang laki-laki berkostum tim sepak bola terkenal di negeri pizza. Dipandanginya sejenak plastik itu dan tanpa komando sontak ditendangnya hingga terbang lagi entah kemana.
Aku hanya mampu diam tertegun. Menatap semua kejadian tersebut dengan sorot mata kosong. Mabuk darat yang masih mendera membuat otakku belum mampu beroperasi secara normal. Neuron-neuronnya belum tersambung sempurna. Jika dipaksakan ditakutkan akan terjadi konsleting arus. Terlalu berbahaya.
Aku memang tidak terbiasa naik bus. Setiap mencium bau solar, perutku langsung berkontraksi. Mual melanda. Terakhir kali aku naik bus sekitar enam tahun yang lalu ketika study tour sekolah dasar. Begitu kaki menginjak lantai bus, aku langsung menghadapkan muka ke kantong plastik. Bisa ditebak kejadian selanjutnya, semua isi dalam perut langsung keluar semua. Tidak ada lagi yang tersisa dan aku terduduk tak berdaya.
Sekarang pun jika ada pilihan lain, aku akan lebih memilih untuk tidak naik bus menuju stasiun. Sebab aku sudah tahu pasti akan seperti ini kejadiannya. Namun ketiadaan pilihan membuat aku mau tidak mau harus melakukan ini semua.
“Ini namanya menyiksa diri.” batinku.
Kukeluarkan biskuit. Kumakan sebiji untuk sedikit meredakan rasa mual. Majalah remaja yang berada dalam pangkuan mulai kubuka-buka. Mengalihkan rasa mual yang masih berada di ujung lidah dengan melihat-lihat gambar fashion terbaru. Sembari tangan kiri membalik majalah, tangan kanan mengambil cemilan biskuit yang kutaruh di sampingku. Selintas bayangan yang lewat memaksa bola mata untuk menatapnya.
Laki-laki itu terlihat berjalan tergesa-gesa. Dipundaknya terselempang tas ransel hitam besar. Langkahnya terhenti di bangku, sebelahku. Napasnya berat terdengar ketika ia meletakkan tas. Dihempaskan begitu saja tubuh atletisnya. Beruntung kursi peron terbuat dari besi, kalau tidak mungkin bisa langsung  patah. Jika patah, bisa dipastikan aku pun akan ikut terjatuh.
Dibukanya tas dan mengeluarkan sebuah biskuit merk ternama. Persis dengan biskuit yang aku makan. Disobek bungkusnya dan diambilnya sebuah lantas dikunyah dengan santai. Seolah hanya ia makhluk di muka bumi ini. Tak ada yang lain.
“Sok cuek.” batinku sinis.
Rasa muak mulai memenuhi ubun-ubun. Entah bagaimana asal mulanya namun yang pasti jika melihat kelakuan semacam itu, hormon muak langsung bereaksi dan menjalar di seluruh komponen otak. Kalau bukan karena aku yang lebih dulu duduk di sini mungkin sudah sedari tadi aku angkat kaki.
Laki-laki itu menumpukan kaki kirinya pada lengan kursi. Aku meliriknya sekilas.
“Huh … dasar laki-laki tak punya sopan santun!”
Rasa muak sudah mencapai stadium tiga. Aku masih berusaha bertahan. Kubuka majalah lebih keras. Mencoba melampiaskan segala kemuakan yang membuncah dalam benakku.  Sementara itu tangan kananku masih menggerayangi bangku mencari biskuit dan segera memasukkan dalam mulut. Mengunyahnya dengan cepat.
Kembali kulirik laki-laki di sampingku. Ia senyum-senyum kecil sambil menatapku. Aku merengut dan mengunyah biskuitku lebih cepat.
“Ngapain juga senyum-senyum. Memangnya ada yang lucu?” komentarku lirih.
Entah firasat darimana, untuk kesekian kali aku kembali meliriknya. Ia tampak asyik melahap biskuit di sebelahnya yang juga tepat berada di sebelahku. Neuron otakku mulai memantik informasi.
“Bukankah biskuit itu milikku? Kenapa ia ikut makan? Tanpa izin pula. Dasar pencuri. Sudah mencuri masih bisa senyum-senyum. Seolah tidak ada rasa bersalah.” pikirku.
Melihat kelakuannya, rasa muakku kembali naik grade. Tak ada lagi toleransi. Kututup majalah dan kumasukkan paksa ke dalam tas. Kuraih sisa biskuit yang masih tergeletak di sebelahku.
Aku hendak melenggang pergi ketika sebuah suara menghentikanku.
“Mbak, maaf, itu biskuit saya.” tegurnya.
Kutatap biskuit yang masih dalam genggamanku. Biskuit yang setengahnya masih terbungkus plastik sebuah toko retail ternama. Itu berarti ini bukan biskuit milikku.
“Ini biskuit mbak. Sudah habis.” lanjutnya sambil menunjuk sebungkus biskuit yang sudah kosong.
Sembari menahan malu kuulurkan biskuit yang hampir aku bawa pergi. Kupasang tampang judes untuk menutupi rasa kikuk. Laki-laki itu hanya tersenyum simpul.
“Maaf.”
“Salah Anda juga kenapa Anda menaruh biskuit di sana.” protesku sembari tetap memasang tampang judes.
Laki-laki itu diam. Protesku hanya direspon dengan senyuman kecil.
“Orang aneh.” ujarku lirih.
Segera kubalikkan badan dan melangkah pergi. Pikiranku kian berkecamuk. Ketika kaki melangkah timbul tenggelam perasaan antara rasa kesal dan bersalah.
“Berarti yang saya makan tadi adalah biskuit laki-laki sok cool itu. Hadeuh…kenapa tiba-tiba saya merasa berutang budi.”
Kutepuk jidatku, “Oh ya, saya tadi belum sempat mengucapkan terima kasih.”
Secepat kilat kubalikkan badan. Mencoba mencari sosok laki-laki itu. Hasilnya nihil. Laki-laki itu sudah tidak ada di tempatnya. Tapi tas itu masih berada di sana.
Pelan kuhampiri tas itu. Memastikan bahwa tas itu adalah benar-benar milik laki-laki sok cool tadi. Memang benar adanya.
“Tasnya masih ada kok orangnya sudah menghilang. Pergi kemana itu orang?” batinku bertanya.
“Mungkin, itu orang ke kamar mandi. Tapi segitu cueknya hingga barang-barangnya ditinggal begitu saja. Apa tidak takut kalau barang-barangnya dicuri orang? Di tempat umum seperti ini kan sangat rawan tindak kriminal.” gumamku lirih.
Kuputuskan untuk menunggunya. Hitung-hitung balas budi.
“Tadi ia sudah berbaik hati berbagi biskuit. Tidak ada salahnya membalas budi baik dengan menjaga tasnya.” pikirku.
Kuletakkan badan tepat disamping tas. Kuedarkan pandang berkeliling. Mencari jejak bayangan laki-laki itu. Kutatap jarum jam yang melingkar manis di pergelengan tanganku. Jam 13.25. Sesuai jadwal kereta rute Surabaya-Jakarta akan berangkat jam 13.30.
“Lima menit lagi.” gumamku.
Hawa panas memaksaku mengibas-kibaskan tangan. Berusaha menghalau panas yang menghajar badan. Laki-laki itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Suara merdu menyentuh gendang telinga.
“Perhatian kepada seluruh penumpang kereta “Argo Lawu” tujuan Surabaya-Jakarta dimohon untuk bersabar sebab telah terjadi kecelakaan di wilayah Pemalang sehingga kereta mengalami keterlambatan untuk jangka waktu yang belum bisa ditentukan. Terima kasih.”
Terdengar suara gerutuan dan protes dari hampir semua penumpang. Memang tidak bisa disalahkan. Penumpang sudah menunggu sekian lama dan dalam kondisi yang panas pula. Tentu ini bukan perkara yang mudah. Sesekali terdengar makian kepada petugas yang berusaha menjelaskan kepada para penumpang.
Aku hanya bisa menghela napas panjang. Kejadian ini menambah grade kekesalan yang sedari tadi menderaku. Namun di sudut batinku ada sedikit rasa syukur. Aku akan memiliki banyak waktu untuk menunggu laki-laki itu. Setidaknya hari ini aku bisa berterima kasih atas kebaikannya.
*******
Jarum panjang jam tanganku sudah menunjuk angka 12 berarti sudah lebih dari setengah jam aku duduk menunggu di bangku peron. Tas hitam besar itu masih duduk di tempatnya. Terdiam membisu seperti sedia kala. Kuhempaskan badan pada sandaran kursi. Penat dan bosan mulai meraja.
“Ini orang mungkin hilang di telan bumi. Kalau ke kamar mandi kok bisa selama ini.”
Tiba-tiba orang-orang berkerumun ke pinggir peron dan suara merdu menggema dari speaker aktif yang terpasang di tiap sudut peron. Namun pembicaraan para penumpang yang bergerombol mengalahkan gema suara yang keluar dari speaker sehingga kurang jelas informasi apa yang paparkan.
Dari pembicaraan para penumpang dapat kusimpulkan bahwa kereta pengganti akan segera tiba.
“Syukurlah.” batinku lega.
Sejenak aku menoleh. Tas hitam besar itu telah hilang. Aku mulai panik. Berusaha menelusur ke segala arah hingga pandanganku menangkap sekelebat orang yang berjalan menuju checking tiket. Ia memakai tas yang sama tetapi posturnya yang berbeda.
Aku mulai gamang. Rasa penasaran yang membuat langkah kakiku ringan mengejar. Kurasakan sakit pada kakiku. Ternyata tulang keringku terantuk pintu loket. Aku lupa memasukkan tiket pada lubang tiket sehingga pintu masih menutup. Petugas yang melihat kelakuanku hanya bisa menahan senyum.
Tergesa kugeledah isi tas dan memberikan kartu tiket pada petugas.
“Mbak, tiketnya ketinggalan.” teriak petugas.
Terpaksa aku berlari berbalik arah. Mengambil tiketku yang ketinggalan dan segera melanjutkan pencarian.
Sekelebat bayangan tas hitam besar muncul dalam pandangan. Aku berusaha mengejarnya. Ia masuk dalam gerbong. Tanpa berpikir panjang, aku juga masuk dalam gerbong yang sama. Dari balik kaca terlihat jelas di depan mata, di luar kereta laki-laki itu sedang berjalan dengan santai sambil menenteng sebotol air mineral.
Aku berlari menuju pintu. Belum sempat aku keluar. Pintu otomatis tertutup dan kereta mulai berjalan. Aku hanya bisa terpaku diam. Ada rasa sesal merasuk dalam dada. Ada selintas doa yang mengiring di sana.
“Saya belum sempat mengucapkan terima kasih kepada Saudara, semoga lewat doa ini Tuhan membalas semua kebaikan Saudara dengan kebaikan yang tiada hingga.”
Terdengar suara “amin” dari belakang telinga. Aku menoleh. Semua orang tengah asyik dengan kesibukannya. Siapakah yang tadi mengatakan “amin”? Aku mulai merinding.
Pati, 15 Oktober 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

7 Pekerjaan BerGaji Besar Tanpa Harus Berada di Kantor

1. Pemandu Wisata Merdeka.com -  Pekerjaan pertama yang cukup mudah dilakukan namun menghasilkan banyak uang adalah menjadi tour guide at...