Sepenggal Kidung Lara
Oleh : Siti Fatonah
Pijakan pertama kaki Biru tepat terhentak ketika sayup suara adzan isya’ berkumandang. Suara serak khas kakek renta. Terdengar ironis dengan nada yang meliuk dan pelafalan kurang jelas. Kemanakah para pemuda hingga mereka membiarkan kakek renta tidak juga pensiun mengumandangkan adzan? Apakah telah terjadi pergeseran paradigma di kalangan mereka?
Hawa dingin menelusup jauh ke dalam tulang. Menggigit daun telinga hingga berwarna kemerahan. Uap hangat pernapasan terlihat terhembus satu per satu dari setiap ucapan yang terlontar. Dirapatkannya kancing jaket dan tudung kepala. Berusaha menghalau dingin yang menghajar badan dari segala penjuru. Sedikit membungkuk, digendong adik kecilnya yang masih pulas tertidur. Dipanggulnya di dada.
“Pak, kopi panas dua.” Biru meletakkan Laila pada bangku panjang yang terlindung dari angin. Dilepaskannya jaket dan diselimutkan ke tubuh mungil Laila.
Derit terdengar ketika Biru menghempaskan badan di bangku sebelah Pak Yanto.
“Capek, Den?” tanya Pak Yanto berbasa-basi menghangatkan suasana yang semakin dingin.
Biru tersenyum kelelahan.
“Masih jauh ya, Den?”
“Insya Allah dua puluh menit lagi sampai, Pak.”
Diseruputnya kopi dengan awalan bacaan basmalah.
“Sholat dulu yuk, Den.” ajak Pak Yanto yang mulai berdiri. “Tadi kita belum sempat sholat magrib. Jadi sholatnya dijama’ magrib dan isya’.”
Biru mengangguk mengiyakan.
“Pak, kami numpang sholat, ya.” pinta Pak Yanto.
“O ya. Silahkan. Mari ikuti saya.”
“Den Biru sholat dulu. Saya jaga Non Laila. Kasian kalau nanti Non Laila terbangun dan tidak ada kita. Nanti Non Laila kebingungan.”
“Ya sudah. Saya sholat dulu ya, Pak. Tolong Pak Yanto jaga Laila. Nanti kita sholat gantian.”
Si empu warung meminta tolong kepada seorang pelayan untuk menunjukkan tempat sholat. Seorang perempuan setengah baya dengan setelan kebaya jawa dan rambut dikonde seadanya menganggukkan kepala. Tak segores pun senyum terbayang di wajah. Gurat beban hidup membekas jelas dikeningnya. Biru membuntuti hingga ia berjalan melewati lorong panjang sebelum akhirnya berhenti di sebuah ruangan berukuran 3x3 meter.
Ruangan berkayu jati dengan pintu setengah tertutup terlihat kian temaram dengan hanya penerangan sebuah lampu minyak yang dilekatkan tepat di tengah daun pintu. Di sisi kanan ruangan tergelar sebuah tikar panjang. Cukup untuk berjamaah tiga orang. Gambar tulisan Allah dan Muhammad terpajang lusuh di dinding ruangan. Di pojok kanan terdapat sebuah pintu yang terbuka lebar. Terlihat gelap gulita.
“Kalau ingin wudlu, langsung turun lewat tangga di pojok sana. Tepat di bawah tangga ada pancuran air.” kata si Ibu seraya menunjuk sebuah pojok temaram yang hanya disinari cahaya bulan.
Ada aura tak menyenangkan yang meremangkan bulu kuduk. Perlahan Biru mengusap tengkuknya yang mulai meremang. Firasat apakah ini gerangan? Ia seketika merasa seolah berada di dunia yang berbeda. Perasaannya tidak bisa berdusta. Ia merasa takut.
Baru beberapa langkah Ibu Pengantar berlalu meninggalkan Biru, ia sudah bertanya.
“Bu, arah kiblatnya sebelah mana?” tanyanya berusaha mengendalikan ketakutan.
“Tikar itu sudah menunjuk arah kiblat.” jawab si Ibu tanpa menoleh sedikit pun.
Ragu-ragu Biru masuk ke dalam ruangan. Langkah kakinya berat menuju pojok, tempat yang ditunjukkan sebagai tempat wudlu. Remang malam semakin mencekam dengan jerit anak tangga kayu yang terinjak. Tak ada pegangan, Biru melangkah penuh hati-hati. Selintas kucing yang lewat membuat jantung Biru hampir lepas.
“Astaghfirullahal ‘adzim.” Biru mengelus dada. Ia menghela nafas panjang.
Suara jangkrik dan hewan malam memecah kesunyian. Gemericik air yang keluar dari pipa bambu menimpa bebatuan sungai yang ditata rapi. Cipratan air menyebar ke segala penjuru. Kelam malam sedikit terobati dengan terang sinar purnama.
Biru menggulung lengan kemeja sebelum matanya menangkap secercah cahaya. Biru sangat yakin itu bukanlah kunang-kunang ataupun pati geni dalam mitologi Jawa. Cahaya yang muncul dari sebuah gubuk. Cahaya itu bergerak mengikuti arah kemana si pembawa berada.
Rasa penasaran mengalahkan segala ketakutannya. Ringan kakinya melangkah menerabas semak belukar yang membatasi tempatnya berdiri dengan gubuk itu. Sebuah gubuk yang sudah mulai condong. Cahaya itu berada di atas balai bambu. Disampingnya, seorang anak kecil berusia sekitar delapan tahun serius membaca sebuah buku.
Gemerisik daun kering yang terinjak kaki Biru mengejutkan anak itu. Secepat kilat ia mengambil kruk. Setengah berlari ia masuk ke dalam gubuk. Meninggalkan buku yang bergerak-gerak tertiup angin.
Langkah Biru semakin cepat. Kini ia sudah sampai di depan pintu gubuk. Diketuknya pintu kayu itu berulang kali. Keadaan pintu yang rapuh membuatnya tidak berani mengetuk terlalu keras. Berulang kali pula ia mengucapkan salam. Namun tidak ada jawaban. Seolah rumah itu memang tidak berpenghuni. Tapi jelas ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa ada seorang anak yang masuk dalam gubuk itu.
Nyaris ia putus asa dengan rasa penasarannya hingga sebuah suara mengagetkannya.
“Anak muda mencari siapa?”
Sontak Biru membalikkan badan. Matanya beredar mencari asal suara. Hingga pandangannya tertuju pada sosok perempuan berkebaya Jawa yang berdiri tepat di samping pancuran air. Perempuan yang tadi mengantarkannya.
Biru masih belum bisa menjawab. Bibirnya terasa kelu. Otaknya serasa berhenti berpikir. Badannya terasa kaku. Ia masih berdiri mematung hingga perempuan setengah baya itu berdiri di depannya.
“Anak muda mau mencari siapa?”
Pertanyaan itu kembali terlontar. Biru masih diam seribu bahasa. Perempuan itu berjalan melewatinya.
“Didi, bukakan pintu, nak. Ini Ibu.”
Seraut wajah muncul dari balik pintu. Wajah anak kecil yang polos lengkap dengan mimik ketakutannya akan orang asing. Tersungging senyuman dari wajah perempuan setengah baya itu. Senyuman lembut seorang ibu. Seolah menenangkan bahwa yang datang adalah ibunya bukan orang lain. Jadi ia tidak perlu takut. Sedangkan Biru hanya bisa menatap semuanya dari balik punggung sang Ibu.
Perempuan setengah baya itu masuk ke dalam. Mengelus kepala anak laki-lakinya.
“Didi kenapa belum tidur?”
“Didi lapar. Ibu bawa makanan?”
Sang Ibu terhenyak. Ia baru sadar, seharian ini anaknya baru makan sekali. Itu pun dengan nasi dan lauk kemarin yang ia hangatkan. Ia sendiri hanya mampu mengganjal perutnya dengan air putih.
“Didi tidur saja ya. Pasti nanti laparnya hilang sendiri.”
“Tapi Didi kalau lapar tidak bisa tidur, Bu.”
“Tapi Ibu juga …..”
Perempuan itu menggantung kalimatnya. Ia benar-benar tak mampu melanjutkannya. Tidak ada lagi alasan untuk bisa menenangkan putranya. Bahkan hanya sekadar belaian lembut kasih sayang tidak akan bisa mengenyangkan perut anaknya.
Memang urusan perut adalah urusan yang tidak bisa diganggu gugat. Seorang terpelajar pun bisa melakukan tindakan preman jika menyangkut urusan yang satu ini. Dari berita televisi yang kadang ia tonton di warung tempat ia bekerja, puluhan pejabat tersandung kasus korupsi. Mulai dari menyuap hingga penggelembungan dana. Padahal notabene pejabat ialah orang-orang terpelajar. Orang-orang terpilih yang telah melewati berbagi seleksi yang ketat. Mereka juga tahu bahwa mencuri adalah tindakan kriminal. Tindakan yang dibenci Allah. Bahkan dalam hadits jelas disebutkan bahwa orang yang menyuap dan disuap, keduanya oleh Allah akan dimasukkan ke dalam neraka. Mengapa mereka masih melakukan semua itu? Di dunia dicerca, di akhirat dimasukkan neraka. Sama sekali tiada guna.
Apabila alasannya adalah urusan perut, bukankah negara telah menggaji mereka bahkan menjamin dengan berbagai tunjangan termasuk tunjangan lauk-pauk? Tapi mengapa mereka masih korupsi? Apakah karena pengaruh gengsi? Gaya hidup? Ah, sudahlah. Mengapa ia harus repot-repot memikirkan urusan orang lain sedangkan urusannya sendiri masih belum terselesaikan.
Perempuan itu hanya bisa menarik napas. Ia benar-benar menyerah pada keadaan. Tiba-tiba sebuah tangan terulur di depannya.
“Untuk biaya makan Ibu dan Didi.”
Perempuan itu menoleh. Ditatapnya Biru dengan tatapan mata nyalang.
“Anak muda, kamu jangan menghina kami. Meskipun kami miskin, kami masih punya harga diri. Kami tidak pernah meminta-minta. Kami hidup dari jerih payah kami. Jangan kau tampakkan uangmu di depan muka kami. Satu rupiah pun kami tidak akan pernah tergiur. Jadi simpan saja uangmu dan lekas pergi dari sini!” bentaknya.
Mendengar bentakan perempuan setengah baya itu, nyali Biru tidak menciut. Justru ia semakin tertantang. Tangannya masih tetap terulur.
“Pergi!” bentaknya sambil mendorong tubuh Biru.
Biru jatuh terjerembab. Uang masih dalam genggaman tangan. Terdengar suara isak tangis. Rupanya anak kecil itu menangis ketakutan. Sang Ibu memeluk dan menenangkan. Mengatakan bahwa semua baik-baik saja.
Biru berusaha bangkit. Tangannya sibuk membersihkan debu yang menempel di kemeja dan celananya.
“Saya minta maaf jika apa yang sudah saya lakukan menyinggung perasaan Ibu.” ucapnya lirih.
“Tapi sebagai tuan rumah yang baik, apakah saya tidak diperkenankan masuk? Bukankah tidak elok jika seorang tamu tidak dijamu dengan baik?”
Sang Ibu berpikir sejenak. “Perkataan anak muda ini ada benarnya juga.” batinnya.
Tangannya bergerak membukakan pintu lebih lebar.
“Masuklah.”
“Terima kasih, Bu.” kata Biru sembari tersenyum simpul dan mengelus kepala Didi.
Biru duduk di sebuah kursi kayu yang kaki-kakinya sebagian habis dimakan rayap. Ia tidak berani banyak bergerak. Takut jika tiba-tiba kaki kursi itu patah dan ia jatuh kembali. Lebih dari itu, ia tidak ingin merepotkan tuan rumah dengan biaya perbaikan kursi.
Sang ibu dan putranya masih berdiri di depan pintu. Anak kecil itu masih memeluk erat ibunya.
“Ibu punya air minum? Jika tidak keberatan saya ingin satu gelas. Rasanya saya haus sekali.” kata Biru.
Sang Ibu melepaskan pelukan. Ia bergerak menuju sebuah kamar. Biru melambaikan tangan ke arah Didi. Memberi isyarat kepada anak kecil itu untuk duduk di sampingnya. Anak kecil itu menurut begitu saja.
“Didi kelas berapa?” tanya Biru ramah.
Anak kecil itu hanya diam. Ia menundukkan kepala lebih dalam.
“Didi sekolah, kan?”
Anak itu hanya merespon dengan gelengan kepala.
“Tadi yang Didi baca buku apa?”
Kembali anak kecil itu hanya menggelengkan kepala.
“Didi tahu tidak cerita yang tadi Didi baca bercerita tentang apa?”
Kembali ia hanya menggelengkan kepala.
“Didi bisa membaca?”
Ia menggelengkan kepala.
“Tadi bukunya Didi, ya?”
Anak kecil itu kembali menjawab dengan gelengan kepala.
Biru mulai geram. Kesabarannya telah mencapai ubun-ubun. Tapi yang ia tetap harus sabar. Sebab yang ia hadapi anak kecil yang masih menganggap ia sebagai orang asing. Tentu tidak mudah bagi dia untuk langsung beramah tamah dan bercerita. Ia harus beradaptasi dengan hal itu.
“Jadi tadi yang Didi baca bukunya siapa?” tanya Biru masih berusaha sabar. Hampir semua pertanyaannya dijawab dengan gelengan kepala.
“Buku bekas pemberian Ibu.”
Biru tersenyum lebar. Akhirnya pertanyaannya ada yang dijawab verbal juga.
“Kalau Didi tidak bisa membaca, mengapa tadi Didi kelihatan serius membaca buku?” tanya Biru.
“Didi cuma lihat gambarnya.” jawabnya sambil tersenyum malu-malu.
Biru pun ikut tersenyum dan mengelus rambut anak kecil itu. Ia kini sudah mulai bisa beradaptasi.
“Kaki Didi kenapa?”
Tangan Biru memegang celana Didi. Dipandanginya celana yang sisi kirinya lemas terjuntai.
“Kecelakaan.” jawabnya berat.
“Sudah lama?”
Anak kecil itu mengangguk. Menunjukkan empat jarinya.
“Empat tahun?” tanya Biru.
Ia kembali mengangguk.
“Lama juga, ya.”
“Oh ya, Bapak Didi kemana?” tanya Biru ketika sedari tadi tidak mendapati sesosok laki-laki dewasa di gubuk itu selain dirinya.
“Sudah meninggal.”
“Kenapa?”
“Kecelakaan.”
Percakapan itu harus terputus ketika perempuan setengah baya itu muncul dengan membawa segelas air putih. Ditaruhnya di atas meja.
“Silahkan, Nak.”
“Terima kasih, Bu.”
Diseruputnya gelas berisi air putih. Percakapan kembali berlanjut. Pertanyaan dan jawaban yang disampaikan menguraikan pahit getirnya kisah hidup. Namun semua harus tetap dijalani. Hidup akan tetap dan terus berlanjut.
*******
Empat tahun sudah kejadian itu berlalu. Hari dimana ia harus kehilangan suami dan kaki kiri putranya. Hari paling getir dalam hidupnya yang sejak kecil telah berselimut kemiskinan. Tidak ada sepeser pun uang yang ia bawa ketika hari naas itu tiba. Pontang-panting ia mencari hutang. Beruntung pemilik warung tempat ia bekerja mau memberi hutang sehingga pemakaman suaminya berjalan lancar.
Ia tahu kesedihan yang berlebihan justru akan membebani suaminya. Diselingi isak tangis yang tertahan, ia mengantar suami tercinta ke peristirahatan terakhirnya. Sementara pikirannya masih tertinggal di rumah sakit. Tempat dimana putranya terbujur menunggu perawatan medis. Ia sadar betul bahwa rumah sakit tidak akan melakukan tindakan apapun hingga keluarga mengurus administrasi.
Selesai prosesi pemakaman, ia bergegas ke rumah sakit. Petugas medis memberikan arahan untuk segera dilakukan operasi dan keluarga harus membayar uang muka untuk biaya operasi. Jika ditunda lagi kemungkinan kaki kiri putranya harus diamputasi. Ia terduduk lemas. Diciumnya tangan putranya yang masih terpejam.
Dari mana lagi ia mendapatkan uang? Ia hanya punya sepetak rumah hasil kerja kerasnya selama ini bersama suami. Hanya itu satu-satunya harta benda yang ia punya. Tidak ada pilihan lain. Ia telah kehilangan suaminya dan ia tidak ingin kehilangan anaknya.
Setengah berlari ia berusaha secepat mungkin tiba dirumah makelar. Ternyata keberuntungan belum berpihak padanya. Orang yang ia cari baru saja pergi.
“Ibu mau menunggu atau besok kembali lagi ke sini?” tanya satpam makelar.
“Saya tunggu saja, Pak. Kira-kira lama atau sebentar ya, Pak?”
“Kalau masalah itu saya kurang tahu, Bu.”
“Jika ibu mau menunggu, silahkan masuk, Bu.” ujar satpam sambil membukakan pintu pagar.
*******
Berkali-kali ditengoknya jam dinding yang tergantung di ruang satpam. Detik-detik waktu telah berlalu namun orang yang ditunggu tidak kunjung datang. Berkali-kali pula ia menggeser tempat duduk. Membenahi kain bajunya yang tertiup angin. Kegelisahan jelas kentara dalam setiap gerak tubuhnya.
Setelah menanti sekian waktu, terdengar jerit gerbang yang terbuka. Sebuah mobil sedan masuk dan parkir di tempat khusus. Seorang laki-laki tambun keluar menenteng tas kulit.
Tergopoh-gopoh si Ibu menghampiri. Terjadi dialog dan tawar menawar yang alot. Sang makelar hanya mau membeli dengan harga yang tidak cukup untuk membayar biaya operasi. Itu adalah harga mati, tidak bisa ditawar lagi.
Si Ibu tiba-tiba duduk bersimpuh. Tangannya gemetar memeluk kaki sang makelar. Air mata tak bisa dibendungnya. Mengalir menganak sungai membasahi selendang hijau tua.
“Tolonglah saya, Tuan. Saya benar-benar membutuhkan uang itu. Saya harus segera membayar biaya operasi anak saya. Saya mohon kebijaksanaan Tuan. Saya mohon, Tuan.” ucapnya sesenggukan sambil mencium kaki sang makelar.
Tubuhnya bergetar. Tekanan batin yang menderanya benar-benar telah merobohkan benteng ketegaran. Tak dipedulikannya tatapan orang-orang di sekelilingnya. Ia masih memegang erat kaki laki-laki tambun itu. Berharap Allah membukakan pintu hatinya sehingga ia berubah pikiran.
Laki-laki tambun itu tidak bergeming. Ia tetap berdiri tak acuh. Hatinya membatu. Pengalaman bekerja mengajarinya untuk bekerja dengan ilmu ekonomi bukan dengan hati. Modal minimal hasil maksimal, itulah teorinya. Melihat kondisi klien yang sedang terdesak kebutuhan, ia yakin berapa pun harga yang ia tawarkan pasti diiyakan.
Perempuan itu merasakan sepasang tangan hangat menyentuh pundaknya. Tangan itu membantunya berdiri dan memapahnya ke kursi. Seorang perempuan muda dengan dandanan dan jilbab yang modis. Kelihatannya ia hendak pergi ke suatu acara. Sebuah tas kecil terselempang di lengan.
“Ibu jangan seperti itu.” ucapnya seraya menghapus air mata yang tersisa di pipi dengan tangannya yang lembut.
“Saya paham jika Ibu benar-benar membutuhkan uang itu. Saya akan coba berbicara dengan Ayah. Doakan ya Bu semoga saya berhasil.” tambahnya sambil mengulum senyum.
Gadis itu berjalan menghampiri ayahnya. Semerbak wangi meruap ketika gadis itu melangkah. Wangi bidadari yang berhati mulia.
“Ayah mau kan membantu Ibu itu?” tanyanya.
“Kasihan, Yah. Coba kalau Ayah di posisi Ibu itu. Pasti Ayah akan melakukan hal sama. Uang tidak punya tapi harus membayar biaya operasi dan rumah sakit.” rajuknya.
Laki-laki tambun itu menaikkan kaca mata. Dibelainya kepala putrinya. “Baiklah karena kamu yang minta, Ayah akan kabulkan permintaan Ibu itu.”
Ada binar kebahagiaan dari muka sang ibu. Diraih dan diciumnya tangan sang gadis. “Terima kasih, Non. Saya tidak tahu harus membalas apa atas budi baik, Non. Semoga Allah yang akan membalas dan senantiasa merahmati, Non.”
“Saya juga berterima kasih kepada Tuan. Semoga Allah melimpahkan kepada Tuan rizki yang banyak dan berkah.”
Tak henti-hentinya perempuan itu mengucap syukur. Satu beban hidupnya telah terlewati. Senja merangkak turun. Mengukir cahaya dilangit kelabu.
*******
Berbekal uang hasil penjualan rumah, perempuan setengah baya itu berangkat ke rumah sakit. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan, dipeluknya erat uang dalam kantong plastik. Inilah harapan terakhirnya. Harapan kesembuhan putra satu-satunya.
Setiba di rumah sakit, sang Ibu segera menyerahkan uang ke bagian administrasi. Ada sedikit kelegaan dalam batinnya. Percik harapan muncul dalam benaknya hingga akhirnya padam ketika dokter menyampaikan hasil diagnosa.
“Sebelumnya saya minta maaf kepada ibu. Insya Allah nyawa putra ibu bisa diselamatkan tetapi kakinya harus tetap diamputasi. Pembusukan dalam kakinya sudah mencapai stadium berbahaya. Apabila tidak diamputasi, saya khawatir pembusukannya akan menjalar ke bagian yang lain.”
Perempuan itu merasa seakan seluruh gedung menimpa tubuhnya. Tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikirannya, anak laki-lakinya akan kehilangan satu kakinya. Apakah putranya akan cacat seumur hidupnya? Bagaimana dengan masa depannya? Siapa yang akan merawatnya jika ia sudah tiada? Bagaimana? Apa? Mengapa? Berbagai pertanyaan terngiang dalam tengkorak otaknya. Hingga semua terlihat gelap di mata. Ia pun jatuh pingsan.
*******
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pun berlaku hukum alam yang sama. Tidak ada uang berarti tidak ada nasi. Uang upah hanya bisa diambil seminggu sekali. Masih lima hari lagi. Bon utang yang dibayar dengan sistem potong gaji hanya mampu menyisakan setengah dari total upah yang harus ia terima. Utang yang harus ia bayar untuk biaya pemakaman suaminya.
“Saya tidak pernah menyesali semua yang terjadi pada hidup saya. Saya yakin, Allah telah memilihkan yang terbaik untuk saya. Memilihkan jodoh terbaik, rizki terbaik, dan putra terbaik. Sekarang tinggal bagaimana saya menyukuri semua yang telah diberikan Allah kepada saya.” ungkap perempuan itu.
Biru tersenyum menyemangati perempuan itu. Perempuan yang secara kasat mata terlihat rapuh namun menyimpan ketangguhan tak terkatakan. Biru tahu persis kepahitan hidup yang dirasakan keluarga ini. Sebab ia pernah merasakan kepahitan hidup yang sama.
Kembali diulurkannya uang itu.
“Uang ini bukanlah pemberian saya. Jadi Ibu bukan peminta-minta. Uang ini adalah jerih payah Ibu. Uang pembayaran segelas air dan cerita Ibu. Cerita yang menginspirasi saya untuk lebih bersyukur. Saya harap Ibu menerima.” ujar Biru.
Ragu tangan tua itu menerima. “Terima kasih, Nak. Hanya Allah yang mampu membalas semua kebaikanmu. Maaf jika tadi ibu bersikap kurang sopan.”
Air mata memenuhi pelupuk matanya. Segera diusapnya. Ia tidak ingin anaknya ikut menangis. Biru pamit mengundurkan diri. Ia belum sempat melaksanakan sholat.
Di depan pancuran air, digulungnya celana. Ia tidak ingin air yang tidak suci mengenai pakaian sholatnya. Dibasuhnya anggota badan sesuai tuntunan wudlu, termasuk kaki palsu yang mengait di paha kanan. Kaki palsu yang menyimpan sejuta cerita pengubah kehidupan. Cerita kebajikan. Sekarang, ia berusaha melakukan kebajikan yang serupa. Kebajikan yang pernah diteladankan oleh sang pemberi kaki palsu. Kebajikan berbagi tanpa pernah mengenal siapa yang diberi. Tidak ada tendensi apalagi konspirasi. Semuanya murni dari hati.
Dihadapkannya diri pada Allah SWT. Tertunduk khusyu’ menyadari bahwa diri bukanlah siapa-siapa tanpa kuasa-Nya. Berharap ibadahnya ini dapat bernilai kesyukuran atas semua yang telah diberi. Sungguh ibadahnya tak bernilai apa-apa jika dibandingkan dengan semua nikmat yang telah diterima.
Hatinya bergetar ketika lisannya melafalkan asma Allah. Ia malu. Benar-benar malu. Kejadian yang baru saja terjadi telah menampar jiwanya. Linangan air mata mengalir pelan. Isaknya lirih terdengar. Tetapi hatinya merasa sangat tentram. Rasa yang sama sekali belum pernah ia rasakan. Malam ini ia bisa merasakan nikmatnya iman.
Pada hari kiamat akan tersedia tempat berteduh bagi orang-orang yang hatinya bergetar ketika asma Allah dilafadzkan. Hati yang sarat dengan kecintaan pada Allah. Hati yang selalu mengingat Allah. Hati yang mampu mengalirkan air mata karena Allah. Menyadari sepenuh jiwa betapa diri ini sangat hina.