Diorama
Oleh : Siti Fatonah
Oleh : Siti Fatonah
Siluet senja menapaki kaki lembah. Menaburkan aroma bunga kopi yang belum sempat disemai. Menghanyutkan gelembung-gelembung udara yang mulai terasa tipis pandangan. Selendang kabut mulai turun. Turun perlahan seakan tak ingin menghancurkan kekhusyukan tasbih semesta.
Lentik daun bambu mengisyaratkan nada rindu. Bergoyang gemulai serupa penari istana. Gemuruh derap kaki domba dihalau sang gembala. Berlari-lari kecil tak ingin ketinggalan masa.
Serupa teori relativitas Einstein. Cahaya bersifat relatif. Begitu pula kehidupan ini. Relatif dan fana. Relatif sebab manusia tidak akan pernah tahu kemana takdirnya akan dibawa. Setiap gerak laku dan nafas, semua harus mengikuti aturan sang Kuasa. Mengikuti takdir yang sudah ada. Jauh kala saat ruh ditiupkan ke dalam raga.
Sementara itu, manusia tak akan selamanya abadi di dunia. Kenapa? Seperti retorika para bijak pujangga, dunia ini fana. Dunia ini akan binasa. Begitu pula manusia. Suatu ketika ia akan dikubur dalam pusara. Sendiri. Tak berteman. Tak berkawan. Hanya berbekal amal hidupnya.
Biru terkesiap merasakan gelayutan gadis kecilnya. Lamunannya buyar seketika. Pelan ditariknya garis senyuman tipis. Jalanan yang tak lagi utuh beraspal membuat tubuhnya limbung ke kanan dan ke kiri. Jalanan yang sama ia lewati bertahun-tahun silam. Ketika tubuhnya harus merelakan semua yang ia punya tertinggal di sana. Nasib. Takdir. Qada’. Qadar. Apa pun namanya. Namun yang pasti ia harus pergi, demi harga diri bersama satu-satunya keluarga yang ia punya.
Allah memang Maha Adil. Itulah pameo yang selalu menyemangati hidupnya. Mutiara kata yang selalu didengungkan ibunya. Ketika lapar telah menjadi santapan harian. Ketika kemiskinan telah menjadi pakaian. Dan ketika hiburan menjadi barang yang mustahil didapatkan.
Allah Maha Mendengar. Kunci itulah yang membuatnya tak pernah putus berdoa. Mengharap pinta suatu ketika akan menjadi nyata. Sekarang lihatlah! Semuanya benar-benar nyata. Allah menghadirkan pada waktu yang tepat. Ulat itu telah berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Sempurna. Sesempurna skenario sang Pencipta.
*******
Geliat tubuh bidadari memenuhi selayang mata. Matanya mengerjap-kerjap manja. Gemulai tangannya membenahi letak jilbab yang agak semrawut. “Sudah sampaikah?” merdu suaranya bertanya.
“Belum. Masih agak jauh.”
“Pak Yanto, tolong kecilkan AC-nya, ya. Rasanya dingin sekali.” ujarnya sambil menarik selimut bergambar hello kitty yang berada di tepian kursi.
“Baik, Non.”
“Kak Biru apa tidak lapar?”
“Kamu lapar?” tanya balik Biru.
“Lapar sekali. Cacing perut Laila sudah demo semua. Kalau tidak segera dikasih makan nanti cacingnya bisa mati. Kasian, kan.” ujarnya dengan mimik muka serius. Serupa ibu guru yang sedang menerangkan muridnya.
Biru mendengus gemas. Memang adik satu-satunya itu memiliki daya khayal tinggi. Mana ada cacing yang bisa demo. Itu hanya ada di dunia kartun. Sama seperti kucing yang tertabrak mobil kemudian cukup mengibaskan badan langsung hidup lagi.
“Kalau memang lapar bisa membuat cacing mati justru kamu harus bersyukur. Berarti kamu tidak akan cacingan lagi.” godanya.
“Memangnya siapa yang cacingan?” protesnya.
“Laila.”
“Enak saja.” gerutunya.
“Tadi Laila sendiri yang bilang kalau di perut Laila ada cacingnya dan sekarang cacingnya lagi demo. Hidup makan! Hidup makan! Hidup makan!” tambah Biru sambil mengacungkan tangan kanan mencoba menggoda adiknya
Laila memanyunkan bibir dan membuang muka. Menghadap ke arah sopir.
“Pak Yanto juga lapar, kan?” teriaknya mengalihkan pembicaraan.
Bapak setengah baya berwajah sabar itu hanya tersenyum seolah mengiyakan pertanyaan majikannya. Tangannya masih kukuh memegang setang setir dan matanya tetap awas mengamati jalanan yang mulai gelap, nihil penerangan jalan. Hanya berpandu pada lampu mobil, ia berusaha fokus.
Jalan yang menyimpan ranjau sungai. Lengah sedikit saja, bisa jadi mobil akan terguling. Kalau sudah seperti itu siapa yang akan membantu? Jalanan di tengah hutan dengan waktu yang tidak tepat. Tidak tepat? Mana ada orang yang akan berpergian di waktu mendekati magrib? Pamali. Begitulah adat desa berbicara.
Biru menjulurkan badan kerempengnya melewati kursi penumpang depan. Tangannya berusaha meraih kantong merah yang berada di dashboard. Terasa ringan di tangan. Setengah terduduk, tangannya sibuk merogoh semua sisi dan sudut dalam kantong. Keningnya berkerenyit. Beberapa bungkus plastik ia keluarkan dan dimasukkan ke dalam tempat sampah kecil di bawah jok kursinya. Hampir semuanya ia keluarkan tapi tak ada satu pun yang terisi. Remah-remah sisa makanan dari bungkus yang ia bawa, beberapa berserakan di pangkuan. Segera ia kibaskan tangan untuk membersihkan.
“Kok habis semua?” batinnya heran.
Tiba-tiba tangannya merasa ada sesuatu yang mengganjal. Bersemangat ia merogoh lebih dalam. “Alhamdulillah.” Wajahnya terlihat bercahaya. Ada secercah gurat kebahagian. Ada rezeki yang terpampang di depan mata.
Sebuah roti dalam genggaman. Tidak seberapa tapi cukuplah untuk mengganjal lapar si mungil. Memang sedari tiba di gapura pintu masuk kabupaten Sekadau, tidak didapatinya warung ataupun rumah makan. Kabupaten Sekadau memang bukan kawasan wisata. Kawasan hutan lebat dengan satwa liar sebagai penghuninya.
Kebanyakan trenggiling dan babi hutan ditemukan mati di tengah jalan. Kemungkinan mereka terlindas kendaraan yang lewat. Monyet-monyet liar yang bergelantungan dari dahan satu ke dahan yang lain. Tidak jarang mereka menyerang manusia. Berusaha merebut apapun yang dibawa. Layaknya begal di tengah hutan. Jika tidak punya barang jaminan kesukaan si monyet, dapat dipastikan barang yang disita tidak akan kembali.
Dalam rawa-rawa gambut di tengah hutan yang hanya berjarak beberapa meter dari jalan kabupaten, sering terlihat buaya sebesar gajah yang tengah berjemur. Di rawa seberang jalan, tampak beberapa ular piton yang jika dilihat dari ukuran badannya mampu menelan kambing dalam sekali telan. Mereka asyik bercengkerama.
Kerikik kumbang sagu dan longlongan orang utan menjadi musik klasik dari sang maestro alam. Eksotika panorama hutan dengan segala keunikan isinya belum mampu mengangkat citra kawasan ini menjadi kawasan wisata. Di kalangan masyarakat dan pemerintah, daerah ini lebih terkenal sebagai daerah tujuan transmigrasi.
Di tempat itu pula, dulu keluarga Biru pernah berusaha merajut mimpi yang terurai. Menjalinnya dengan indah sehingga mimpi itu berwujud nyata. Namun takdir Allah berkata berbeda. Semuanya harus berubah. Layaknya kawasan hutan ini. Telah berubah. Jauh berubah.
*******
Belum sempat Biru menyerahkan roti yang ia bawa, telah didapati si mungil tidur melingkar dengan nyaman di sampingnya. Tangan kiri menjadi bantalan kepala.
“Subhanallah, ini anak katanya lapar. Baru lima menit sudah tidur. Kebiasaan.” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Pak Yanto mau roti?
“Tidak, Den. Buat Den Biru saja.”
“Saya masih kenyang kok, Pak. Lagian saya cuma duduk manis di belakang. Kalau Pak Yanto harus nyetir butuh konsentrasi tinggi dan perlu banyak energi. Jadi rotinya buat Pak Yanto saja.” katanya sembari mengulurkan sebungkus roti.
“Wah, terima kasih ya, Den”
“Iya, Pak. Sama-sama.”
Biru kembali duduk di kursinya. Diambil dan dipangku bantal kesayangan yang di atasnya terdapat Al-Qur’an saku. Dibukanya Surat Ar-Rohman. Surat ke-55 dari Al-Qur’an menggambarkan sifat kasih sayang Allah kepada seluruh makhluk-Nya.
“Pak, Bu, menu malam ini adalah Surat Ar-Rohman. Semoga Allah melimpahkan kasih sayang-Nya kepada Bapak dan Ibu serta menempatkan Bapak dan Ibu di tempat yang paling indah. Amin.” ucapnya lirih.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Dan bagi siapa yang takut akan menghadap Tuhannya ada dua surga.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Kedua surga itu mempunyai pepohonan dan buah-buahan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Di dalam kedua surga itu ada dua buah mata air yang memancar.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Di dalam kedua surga itu terdapat aneka buah-buahan yang berpasang-pasangan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Mereka bersandar di atas permadani yang bagian dalamnya dari sutera tebal.
Dan buah-buahan di kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang membatasi pandangan, yang tidak pernah disentuh oleh manusia maupun jin sebelumnya.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Seakan-akan mereka itu permata yakut dan marjan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).
Selesai membaca Surat Ar-Rohman ditutupnya Al-Qur’an dan dimasukkan ke dalam kantong kemeja. Ada perasaan lega. Menu malam untuk orang tuanya telah dibacakan sebelum waktunya. Biasanya ia membacakan selepas sholat magrib tapi sekarang, saat gurat matahari masih menerobos sela-sela dedaunan ia telah menyelesaikan kewajibannya.
Biru membuang pandang keluar jendela mobil. Hutan masih lebat di sepanjang jalan. Namun, jejak pembalakan liar dan pembakaran lahan hutan juga tampak kentara. Beberapa bangunan kotak semi permanen terlihat di beberapa sisi. Tahun telah berubah. Hutan telah berganti. Dulu hutan alami kini menjadi hutan produksi. Sekarang semua hal memang diukur dari segi ekonomi.
*******
Di era 90-an populasi penduduk asli yang relatif sedikit berkorelasi dengan minimnya jumlah pendapatan asli daerah. Padahal Kabupaten Sekadau termasuk Kabupaten yang memiliki area yang luas. Luasnya daerah Kabupaten Sekadau belum mampu diolah oleh segelintir masyarakat yang mendiaminya. Tiga per empat lahan di Kabupaten Sekadau merupakan hutan hujan tropis. Adapun sisanya merupakan kawasan pemukiman.
Sumber daya manusia yang kurang mumpuni menjadi kendala utama. Jarak rumah yang terpaut puluhan kilometer dari sekolah menjadi permasalahan tersendiri. Kalau pun ada anak negeri yang bertekad baja ingin memperbaiki masa depannya lewat jalur pendidikan, maka ia harus berangkat pagi buta. Berjuang menaklukkan sungai yang berarus deras. Jika musim penghujan tiba dan sungai meluap, tidak ada pilihan lain bagi mereka selain berdiam di rumah. Menunggu hingga musim hujan reda.
Apabila dibandingkan dengan Jawa memang terjadi ketimpangan populasi. Inilah alasan utama pemerintah memberlakukan transmigrasi. Terjadi pemerataan penduduk dan pemerataan pendapatan daerah.
Di tahun yang sama dengan kelahiran Biru, ayahnya mengambil sebuah keputusan besar. Keputusan yang akan mengubah seluruh jalan kehidupan keluarganya. Keputusan yang berawal dari keinginan untuk mengubah nasib. Mengubah keadaan yang ada. Bukankah Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum hingga dia mengubahnya sendiri? Demikianlah Tuhan memberi petunjuk kepada makhluk-Nya agar mereka senantiasa berusaha sekuat tenaga.
Di Jawa tanpa ijazah apapun hanya bisa bekerja sebagai kuli serabutan dengan upah yang tidak bisa diandalkan. Apalagi sudah bertambah lagi satu mulut yang harus diberi makan. Belum lagi jika ada yang sakit ataupun kebutuhan mendesak yang lain.
Segala hal itu menjadi pemikiran utama ketika telinganya menangkap percakapan orang yang lalu lalang di depan kios tempat ia bekerja. Menukar keringat dan tenaga dengan rupiah. Setelah mencari informasi kesana kemari akhirnya ia mantap melangkahkan kaki ke sebuah kantor pemerintahan.
Tawaran dari pemerintah yang begitu menggiurkan. Lahan pertanian tidak kurang dari dua hektare, satu petak rumah, uang hibah, dan transportasi gratis hingga ke tempat tujuan adalah hal yang layak untuk dipertimbangkan. Di sana mereka akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengubah hidup menjadi lebih baik. Begitulah kalimat persuasif yang disampaikan petugas penyuluh lapangan kepada para calon transmigran.
Tampak di deretan kursi terdepan laki-laki berperawakan kurus, bertubuh liat, dan berkulit legam dengan takzim mengangguk-anggukkan kepala. Ia begitu bersemangat menyimak ceramah para petugas penyuluhan. Ada beribu harapan membias dalam rona wajahnya. Harapan untuk hidup lebih baik, lebih layak, dan berbagai kelebihan yang lain sebagaimana ceramah petugas penyuluhan. Kebahagiaannya semakin terbayang nyata ketika tangannya menerima amplop besar bertuliskan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Di sana jelas tertera namanya Kanafi bin Maryoto.
Keputusan ini telah dipikirkan matang-matang. Apalagi hasil musyawarah dengan sang istri juga menghasilkan keputusan yang serupa. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka dengan membawa serta bayi merah darah yang belum bisa diminta pendapatnya. Mengamit tas ransel yang berisi seluruh barang berharga. Begitulah dulu kiranya orang tuanya pernah bercerita.
*******
“Den, ini kelihatannya sudah hampir magrib. Kira-kira Den Biru hendak sholat dimana?”
Pertanyaan Pak Yanto membuat Biru gelagapan. Sedari tadi pikirannya memang melalang buana. Mengembara melewati labirin-labirin otaknya yang kian berliku-liku.
“Emm. Coba nanti kalau ada warung saja, Pak. Kita sholat sekalian makan. Jika memungkinkan mencari penginapan juga.” kata Biru sembari menaruh bantal kecil di kepala adiknya, berusaha menghilangkan linglung yang mendera.
“Baik, Den.”
Rembang kembali menapak turun. Siluet panjang membekas jingga di angkasa. Kabut kian menebal mengaburkan jiwa. Serupa asap penyihir pengambil sukma. Cericit anak burung layang-layang mengajak induk pulang. Kembali ke sarang. Pulang? Kata itulah yang berhari-hari terngiang di gendang telinga dan membuatnya di tempat sekarang ia berada. Pulang kembali ke tanah kelahiran. Tanah harapan. Tanah kenangan. Tanah perjuangan. Tanah pengkhianatan.